Bagaimana Hukum Isbal : Ibnu Hajar Al Asqalani Tidak Mengharamkan

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم 
الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء

“Didalam hadis-hadis tentang isbal ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. NAMUN taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk dalil, bahwa hadis-hadis lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”.

Catatan :

1. Petikan secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau tidak menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal yang tanpa sombong tetap diharamkan oleh banyak hadis ”

2. Petikan secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal tanpa sombong tidak diharamkan ”.

Jika pendapat yg mengharamkan isbal berdalih dengan ucapan Ibnu Abdil Bar :
إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال

Maka ini sungguh bukan dalil pengharamannya secara muthlaq.

Kemudian jika ditinjau dari sisi ilmu lughah, maka akan kita ketahui bahwa Ibnu Hajar TIDAK mendukung pengharaman Isbal secra muthlaq dan juga boleh (tidak makruh) jika tanpa khuyala.

Perhatikan :

Pertama : Dilihat dari lafadz USTUDILLA adalah bentuk kata kerja majhul yaitu kata kerja pasif untuk waktu lampau. Pada dasarnya, shigah majhul (bentuk kata kerja pasif) digunakan karena beberapa maksud sbgaimana disebutkan dalam kitab-kitab Nahwu :

1. Lil iejaz (meringkas)
2. Lil ‘ilmi bih (telah diketahui pelakunya)
3. Lil jahli bih (tidak diketahui pelakunya)
4. Lil khauf ‘alaih (merasa khawatir)
5. Lil khauf minhu (merasa takut)
6. Lit tahqier (merendahkan)
7. Lit ta’zhiem (mengagungkan)
8. Lil ibahmi (menyamarkan pada pendengar)

Kedua : Kata ISTIDLAL dalam konteks ini harus dijelaskan secara istilahi bukan lughowi karena demikianlah yg digunakan oleh ahli ushul fiqih dan fiqih. Maka dengan demikian memiliki makna dua :

1. menegakkan dalil secara mutlak, baik dalil itu berupa nash, ijma’ maupun yang lainnya.
2. menegakkan dalil yang bukan berupa nash, ijma’, dan qiyas.

Ketiga : kata Istidlal isytiyaqnya dari asal dalla yadullu dan mngikuti wazan istaf’ala.
Dalam konteks ini berarti istidlal memiliki makna ittidzkhaz yaitu menjadikan. Artinya, segala sesuatu (selain Quran, sunah, ijma’, dan qiyas) yang dijadikan dalil. Adapun Quran, sunah, ijma’, dan qiyas ditegakkan sebagai dalil bukan sebagai produk/karya para mujtahid yang lahir dari ijtihad mereka. Adapun yang diakui sebagaiistidlaal adalah istishab dan lain-lain. Maka sesuatu yang dikatakan oleh setiap imam berdasarkan ketetapan ijtihadnya, seakan-akan ia menjadikannya sebagai dalil

Keempat : Menurut ilmu Balaghah dan Ma’ani, istidlal tsb masuk kategori :

1. Qiyas iqtirani dan qiyas istitsnai. Keduanya jenis qiyas mantiq. Contoh Qiyas iqtirani: arak itu memabukkan-Setiap yang memabukan haram. Natijahnya: Arak haram. Contoh qiyas istitsnai: Jika arak itu mubah maka dia tidak memabukkan. Namun karena dia memabukkan, natijahnya: maka dia tidak mubah.

2. Istiqra, yaitu menelusuri point-point parsial pada makna untuk menetapkan hukum yang lebih universal, secara qathi'y atau dzanniy. Dan bersifat tidak ditetapkan dengan dalil tertentu tapi dengan dalil-dalil yang berkaitan satu sama lain namun berbeda maksud. Selanjutnya dengan satu tujuan itu dapat menghasilkan satu cakupan hukum.
.
3. Istishhab, yaitu penetapan hukum suatu perkara di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).

Maka dengan penjelesan ini, jelas Ibnu Hajar tidak sedang mendukung pengharaman isbal secara muthlaq dan juga tidak memakruhkannya bagi yg berisbal tanpa khuyala. Hal ini banyak didukung oleh pendapat para ulama kibar (besar), berikut :

1. ويحرم وهو كبيره إسبال شيء من ثيابه ولو عمامة خيلاء في غير حرب فإن أسبل ثوبه لحاجة كستر ساق قبيح من غير خيلاء أبيح ما لم يرد التدليس على النساء ومثله قصيرة اتخذت رجلين من خشب فلم تعرف ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك

2. Imam Mawardi dalam kitab Al-Inshof juz 1 hal : 473 mngatakan :
ويكره زيادته إلى تحت كعبيه بلا حاجة على الصحيح من الروايتين وعنه ما تحتهما في النار وذكر الناظم من لم يخف خيلاء لم يكره والأولى: تركه هذا

“ Dan makruh melebihi sampai bawah mata kaki tanpa ada hajat mnurut pndapat yg shohih..si nadzim mnyebutkan jika tidak takut sombong maka TIDAK MAKRUH…”

3. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam hal ini bertaqlid dgn pendapat al-Qodhi yang membolehkannya jika tanpa khuyala :
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في: ((شرح العمدة)) (ص361-362) : (فأما إن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره
“ Ibnu Tamiyyah berkata dalam kitab Syrh Umdah “ Adapun jika tidk dngn khuyala akan tetapi karena ada alasan atau hajat atau tdk bermaksud sombong dan berhias dgn pakaian panjang dan lainya, maka tidaklah mengapa dan ini ikhtiyarnya al-Qodhi dan selainnya “.

4. Imam syafi’I sendiri memiliki pndapat lain yg dinukil oleh imam Nawawi dlm kitab majmu’nya berikut :
لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ، فأما السدل لغير الخيلاء في الصلاة فهو خفيف ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر رضى الله عنه وقال له : إن إزاري يسقط من أحد شقي . فقال لهلست منهم
“ Tidak boleh sadl atau isbal di dalm sholat maupun diluar sholat jika karena sombong. Adapun sadl bukan karena sombong di dalam sholat maka itu adalah khofif / ringan karena hadits Nabi Saw kepada Abu Bakar yang berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya pakaianku menyeret ke bumi “ Maka Nabi mnjawab “ Kamu bukan karena sombong “.

5. Hadits dari Ibnu Umar yg diriwayatkan dalam shohih MUSLIM berikut :

من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة فإن الله لا ينظر إليه يوم القيامة
“ Barangsiapa yang mnyeret sarungnya, tidak berbuat itu selain sifat sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat “. (HR. Muslim).

Nash ini jelas bahwa isbal tidaklah haram kecuali karena melakukannya dgn sifat sombong.

Demikian penjelasan ini secara singkat...smga bermanfaat...
Read more »

Dialog Terbuka di Kota Balikpapan, Wahabi Tak Berkutik Di Acara ASWAJA

Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Balikpapan, Sabtu (17/12/2011) melantik pengurus ranting NU se-Kota Balikpapan, bertempat di Auditorium PT. Kilang Mandiri. Sehingga saat ini PCNU Balikpapan memiliki 5 MWC dan 27 Ranting.


Pelantikan yang dikemas dengan seminar tentang internalisasi Ahlussunnah Wal Jama’ah itu diikuti oleh 300 orang pengurus NU se-Balikpapan, mulai dari tingkat cabang hingga tingkat ranting.



Pada kesempatan itu, hadir sebagai pembicara Ustadz Muhammad Idrus Ramli, salah satu anggota Tim Kaderisasi ASWAJA PWNU Jawa Timur. Dalam seminar tersebut, Ustadz Idrus Ramli memaparkan tentang makna dan hakikat Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasarkan al-Qur’an, hadits dan pemahaman para ulama yang mu’tabar.



Kegiatan ini sebagai salah satu langkah untuk membendung gerakan Wahabisasi yang semakin marak di Kota Balikpapan. Selama ini Balikpapan pusat gerakan aliran Wahabi. Dengan demikian, dibawah kepemimpinan KH. Abbas Alfas, PCNU Kota Balikpapan melakukan langkah-langkah strategis. Terutama penataan organisasi yang selama ini vakum.



Untuk memberikan pemantapan terhadap warga Nahdliyyin di Balikpapan, PCNU juga menggelar dialog terbuka antara Ustadz Muhammad Idrus Ramli dengan Ustadz Adzro’i Abdusysyukur seorang tokoh Wahabi. Dialog yang dikemas dalam acara bedah buku “Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sedar? Jawaban Terhadap Buku-Buku Mahrus Ali”, yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Idrus Ramli bersama Habib Muhammad Syafiq Al-Idrus, itu digelar di Masjid Agung At-Taqwa, Balikpapan dengan diikuti oleh sekitar 1000 orang lebih.



Selama ini Ustadz Adzro’i dalam ceramahnya di berbagai tempat dan melalui radio tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mensyirikkan warga nahdliyyin yang melakukan istighatsah dan tawassul. Tak ayal, warga nahdliyyin Balikpapan sangat menunggu kehadirannya dalam acara dialog tersebut. Sehingga ketika Ustadz Adzro’i diketahui kehadirannya, suasana menjadi tegang. Para peserta menunggu apa yang akan dibicarakan oleh kedua pembicara berbeda aliran itu.



Ustadz Idrus Ramli diberi waktu untuk mengawali dialog dengan memaparkan hakikat istighatsah dan tawassul beserta dalil-dalilnya dari hadits-hadits shahih dan amaliah para sahabat. Usai Ustadz Idrus, moderator memberi kesempatan dan meminta Ustadz Adzro’i untuk memberikan tanggapannya.
Namun, jawaban Adzro’i ternyata tidak memuaskan. Ia justru mengaku tidak memusyrikkan orang yang melakukan istighatsah dan tawassul, karena dasarnya sangat kuat sebagaiman dipaparkan oleh Ustadz Idrus di awal. Jawaban tersebut membuat para peserta yang hadir tertawa dan bersorak sorai, karena selama ini memang warga Balikpapan sering mendengar sendiri pernyataan Adzro’i yang memusyrikkan istighatsah. Tetapi dalam dialog tersebut, Adzro’i justru tidak mengakuinya.



Kemudian moderator meminta tanggapan Adzro’i tentang ziarah umat islam ke makam para auliya’, apakah syirik atau tidak. Ternyata Adzro’i menjawab secara diplomatis, bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan kita pada kematian, sehingga dibolehkan. Akhirnya Ustadz Idrus Ramli memaparkan ziarah kubur dalam berbagai aspeknya beserta dalil-dalilnya. Setelah Ustadz Idrus memaparkan hal ini secara detail beserta dalil-dalilnya, Ustadz Adzro’i segera meninggalkan acara dan berpamitan tidak bisa melanjutkan dialog dengan alasan ada acara lain di luar.



Melihat ulah Ustadz Adzro’i yang kabur melarikan diri setelah dirinya tidak berkutik itu, para hadirin semuanya tertawa. Selanjutnya acara dialog dilanjutkan tanpa kehadiran pembanding dari pihak Wahabi hingga selesai pukul 13.00.



(Disadur dari Majalah AULA Edisi Januari 2012, Dapatkan Majalahnya di toko / kios buku dan agen Majalah terdekat di kota Anda)

Read more »

Kebohongan Wahabi Atas Nama Ust. Muhammad Arifin Ilham


Masih maraknya berita bohong wahabi yang bersumber dari voa-islam ini membuat kami segera menulis bantahannya mengenai hal tersebut. Buat sodara sodaraiku hati-hati dengan media Wahabi yang berkedok islam, yang mana isinya  suka menebar fitnah dan tuduhan2 keji serta suka berdusta…seperti halnya VOA Islam ini, yang telah menfitnah ust Arifin Ilham, sosok yang dahulu dihujat oleh wahabi karena mempopulerkan Dzikir Berjama’ah yang dianggap Bid’ah dan Sesat oleh kelompok mereka. Berawal dari berita yang diposting oleh salah satu situs wahabi www.voa-islam.com yang berjudul Namanya Dicatut, Arifin Ilham Minta Buku Hujat Wahabi Ditarik dari Peredaran.
Benarkah?.
Tiga hari setelah munculnya berita tersebut, alhamdulilah  kabar fitnah itu terdengar Oleh ust Arifin dan segera pula ditanggapi, berikut tanggapan ust Arifin tentang fitnah tersebut melalui halaman Page Facebook resmi beliau :
SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH, media gossip kembali menyebarkan fitnah terhadap keluargaku yg telah dibahagiakan ALLAH. Kewajibanku mengingatkan, DEMI ALLAH, apa yg media gossip beritakan adalah fitnah besar, kalian hanya mengejar oplah bisnis atau kalian punya “misi lain” terhadap hamba yg berdakwah. Sungguh apapun gossip fitnah kalian tidak akan memadamkan SEMANGAT DAKWAHKU & CINTAKU pada UMAT NABI yg MULIA ini. INGAT! Hidup ini tidak lama, semua kita akan wafat & bertanggungjawab atas fitnah yg kita perbuat, teganya kalian hai penyebar fitnah memakan uang hasil oplah fitnah yg haram itu u keluarga kalian. Sungguh kalaulah kalian punya IMAN walau sedikit saja, pasti kalian sgt takut ADZAB AKIBAT FITNAH. Sampaikan pada empu media gossip walaupun kita berbeda keyaqinan agama. Semoga kalian diberi HIDAYAH ALLAH…aamiin. Tolong sebarkan pernyataanku ini, jazaakumullah, terimakasih sahabat FBku.
Hasbunallah wani’mal wakil… kenapa sebagian saudara-saudara kita masih percaya berita-berita bohong yg dimuat oleh media penghasut, voa-islam?mereka berdusta dan menfitnah Ust Arifin Ilham, karena di dalam buku-buku tersebut Ust arifin mnyetujui dan mengomentari serta memberi saran, lalau oleh fihak wahabi diputar balikkan, seakan2 ust arifin tdk tahu menahu ttg buku-buku itu sehingga wahabi berdusta atas nama Ust Arifin dengan mengatakan katanya Ust Arifin menyuruhnya untuk menarik buku-buku itu dari peredarannya…Lalu Ust Arifin menyanggah tentang kabar fitnah yg mengatkan suruh menarik buku2 yg beredar di pasaran padahal Ust. Arifin tidak mengatakan demikian.Kenapa ya Wahabi ini suka sekali berdusta? ketika mereka terbantah secara ilmiyah, lalu mereka memutar balikkan fakta dan menfitnah bahkan berdusta …..Semoga kita, keluarga , saudara dan tetangga serta teman2 kita selamat dari fitnah wahabi An Najd ini,….Amin .


Read more: http://www.sarkub.com/2012/kebohongan-wahabi-atas-nama-ust-arifin-ilham/#ixzz25oVG195c
Read more »

Hukum Mencium Tangan Ulama atau Kiyai : Ini Amaliyah Sunnah


Inilah Tradisi Ketimura sebagai simbol penghormatan kepada yg lebih tua, baik dalam kedudukan maupun dalam Nasabnya. Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.

Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد
Artinya : Dari Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi s.a.w. (H.R. Abu Dawud).

عَنِ ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ : اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ, فقبَلهَا
Artinya : dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu Jad’an mencium tangan Anas tersebut. (H.R. Bukhari dan Ahmad)

عَنْ جَابرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ عُمَرَ قبَّل يَدَ النَّبِيْ.
Artinya : dari Jabir r.a. sesungguhnya Umar mencium tangan Nabi.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ: قلْتَ لاِبْنِ اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي بَايَعْتَ بِهَا رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا، فقبَلتُهَا.
Artinya : Dari Abi Malik al-Asyja’i berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa r.a. “ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku kemudian menciumnya.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ صُهَيْبٍ قالَ : رَأيْتُ عَلِيًّا يُقبّل يَدَ العَبَّاسْ وَرِجْلَيْهِ.
Artinya : Dari Shuhaib ia berkata : saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan kakinya. (H.R. Bukhari)

Atas dasar hadits-hadits tersebut di atas para ulama menetapkan hukum sunah mencium tangan, ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati karena agamanya.

Berikut ini adalah pendapat ulama

1. Ibnu Hajar al-Asqalani

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat Imam Nawawi sebagai berikut :

قالَ الاِمَامْ النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ وَعِلْمِهِ اَوْ شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ يُكْرَهُ بَل يُسْتَحَبُّ.

Artinya : Imam Nawawi berkata : mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah”,juz,2,halaman.116.

2. Imam al-Zaila’i

Beliau berkata :

(يَجُوْزُتقبِيْلُ يَدِ اْلعَالِمِ اَوِ اْلمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيْلِ التبَرُكِ…
Artinya : (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.
(Disarikan dari buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.


Dalil Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu

Persentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang bukan mahram (termauk juga istri) tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu. Dalam kitab al-Iqna pada Hamisyi albujairimi juz I, halaman 171 sebagai berikut:

..والرابع من نواقض الوضوء لمــــس الرجل ببشرته المرأة الأجنبية أى بشرتها من غير حائل.
…hal keempat membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa lain (yang bukan muhrim) tanpa ada penghalang.

Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits dari Muadz bin Djabal.

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه رجل فقال: يارسول الله ما تقول فى رجل لقي امرأة لايعرفها وليس يأتى الرجل من امرأته شيئا إلاأتاه منها غير أنه لم يجامعها قال فأنزل الله عز وجل هذه الأية أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل, قال فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : توضاء ثم صل..! قال معاذ فقلت يارسول الله أله خاصة أم للمؤمنين عامة؟ فقال:بل للمؤمنين عامة (رواه أحمد والدارقطنى
Rasulullah saw. kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang tak dikenalnya. Dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suimi-istri, tidak juga bersetubuh. Namun, hanya itu saja (bersetubuh) yang tidak dilakukannya. Kata Rawi Maka turunlah ayat أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل . Rawi bercerita: Maka rasulullah saw bersabda: berwudhulah kamu kemudian sembahyanglah. Muadz berkata ”wahai Rasulullah apakah perintah ini hanya untuk orang ini, atau umum untuk semua orang mu’min? Rasulullah saw menjawab “untuk semua orang mu’min’ (HR. Ahmad Addaruquthni)

Ada juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya:

قبلة الرجل امرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أوجسها بيده فعليه الوضوء (رواه مالك فى الموطأ والشافعى )
Sentuhan tanagn seorang laki-laki terhadap istrinya dan kecupannya termasuk pada bersentuhan (mulamasah). Maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, wajiblah atasnya berwudhu (HR. Malik dalam Muwattha’ dan as-Syafi’i)

Hadits ini jelas menerangkan bahwa bersentuhan dengan istri itu membatalkan wudhu seperti halnya batalnya wudhu karena mencium istri sendiri.
Seperti yang ditekankan dalam salah satu riwayat Ibnu Haitam, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:

اللمس ما دون الجماع
Yang dimaksud dengan sentuh (allamsu) adalah selain jima’.

Ini berarti bersentuhan dengan istri tanpa penghalang baik sengaja atapun tidak membatalkan wudhu. Lebih jelas lagi riwayat atThabrani:

يتوضأ الرجل من المباشرة ومن اللمس بيده ومن القبلة
Berwudhulah lelaki karena berlekatan, bersentuhan dengan tangan dan karena ciuman.

http://warkoplalar.blogspot.com/2011/05/tradisi-mencium-tangan-kyai-merupakan.html
Read more »

Dzikir Berjama'ah Menurut Islam (Al Qur'an dan As-Sunnah)



وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تــَـعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [QS. Al-Kahfi: 28]

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan sbb:

وقوله "واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه" أي اجلس مع الذين يذكرون الله ويهللونه ويحمدونه ويسبحونه ويكبرونه ويسألونه بكرة وعشيًا من عباد الله سواء كانوا فقراء أو أغنياء أو أقوياء أو ضعفاء يقال إنها نزلت في أشراف قريش حين طلبوا من النبي صلى الله عليه وسلم أن يجلس معهم وحده ولا يجالسهم بضعفاء أصحابه كبلال وعمار وصهيب وخباب وابن مسعود وليفرد أولئك بمجلس على حدة فنهاه الله عن ذلك

Firman Alloh: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya” yakni duduk bersama org yg berdzikir, bertahlil, bertahmid bertasbih, bertakbir dan bermohon kpd Alloh di waktu pagi dan sore dari hamba Alloh baik yg fakir atau kaya, yg kuat atau yg lemah. Dikatakan sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dgn pembesar2 Quraisy yg menghendaki agar Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam duduk bersama mereka saja dan tdk duduk bersama mereka org2 yg lemah dari para sahabat seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Suhaib, Khabbab dan Ibnu Mas’ud. Dan agar supaya mereka dibuatkan majlis khusus [tdk bercampur dgn mereka pembesar Quraisy-pent], maka Alloh melarang perbuatan itu.

وأخرج ابن جرير والطبراني وابن مردويه، عن عبد الرحمن بن سهل بن حنيف قال: نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في بعض أبياته {واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي} فخرج يلتمسهم فوجد قوما يذكرون الله، فيهم ثائر الرأس وجاف الجلد وذو الثوب الواحد، فلما رآهم جلس معهم وقال: "الحمد لله الذي جعل في أمتي من أمري أن أصبر نفسي معهم".
وأخرج البزار عن بي هريرة وأبي سعيد قالا: جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم رجل يقرأ سورة الحجر وسورة الكهف، فسكت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "هذا المجلس الذي أمرت أن أصبر نفسي معهم".

Dari ‘Abd al-Rahman bin Sahl bin Hanif, ia berkata: Pada suatu saat, ketika Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berada di salah satu rumahnya, turunlah ayat kepada beliau, yang ertinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keredhaan-Nya.” (Surah al-Kahfi: 28), Maka setelah menerima wahyu itu, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar untuk mencari orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Kemudian beliau menjumpai sekelompok orang yang sedang sibuk berzikir. Di anatara mereka ada yang rambutnya tidak teratur dan kulitnya kering, dan ada yang hanya memakai sehelai kain. Ketika Rasulullah s.a.w. melihat mereka, beliau pun duduk bersama mereka dan bersabda, yang artinya: “Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan di antara umatku orang-orang yang mernyebabkan aku diperintahkan duduk bersama mereka.” (HR. Thabrani, Ibn Jarir dan Ibn Mardawaih)
Dari Abu Hurairah ra. dan Abi Sa’id ra. berkata, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam datang disaat seorang laki-laki membaca surat Al-Hijr dan Al-Kahfi. Maka Rosululloh terdiam lalu bersabda, “Inilah majelis yg aku diperintahkan agar bersabar berkumpul bersama mereka [majelis dzikir-pent].” [HR. Al-Bazzar]

- (2675) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ - وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ - قَالَا: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: «أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي، إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً» [روه مسلم]

.........Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jema’ah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR. Muslim (2675/4832)

وعن أبي هريرة قال قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمََ: إن لله ملائكة يطوفون في الطرق يلتمسون أهل الذكر فإذا وجدوا قوما يذكرون الله عز وجل تنادوا هلموا إلى حاجتكم قال فيحفونهم بأجنحتهم إلى السماء الدنيا قال فيسألهم ربهم وهو أعلم منهم ما يقول عبادي قال يقولون يسبحونك ويكبرونك ويحمدونك ويمجدونك قال فيقول عز وجل هل رأوني قال فيقولون لا والله ما رأوك قال فيقول كيف لو رأوني قال يقولون لو رأوك كانوا أشد لك عبادة وأشد لك تمجيدا وأكثر لك تسبيحا قال فيقول فما يسألوني قال يسألونك الجنة قال يقول وهل رأوها قال فيقولون لا والله يا رب ما رأوها قال يقول فكيف لو رأوها قال يقولون كانوا أشد عليها حرصا وأشد لها طلبا وأعظم فيها رغبة قال فمم يتعوذون قال يقولون من النار قال يقول وهل رأوها قال فيقولون لا والله يا رب ما رأوها قال يقول فكيف لو رأوها قال يقولون كانوا أشد منها فرارا وأشد لها مخافة قال فيقول فأشهدكم أني قد غفرت لهم قال يقول ملك من الملائكة فيهم فلان ليس منهم إنما جاء لحاجة قال فيقول الله تعالى هم الجلساء لا يشقى زبهم جليسهم. [رواه البخاري ومسلم والترمذي]

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah mempunyai malaikat yang berterbangan di seluruh pelusuk bumi untuk mencari dan menulis amal baik manusia. Apabila mereka menjumpai sekumpulan manusia berzikir kepada Allah lalu mereka menyeru sesama mereka: “Marilah ke sini, kita telah menemui apa yang kita cari.” Lantas mereka datang berduyun-duyun sambil menghamparkan sayap menaungi orang-orang yang sedang berdzikir itu.
Selepas itu lalu Allah bertanya kepada para malaikat, “Apakah yang sedang dilakukan hamba-hamba-Ku itu ketika kamu meninggalkan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka di dalam keadaan memuji, mengagungkan dan bertasbih kepada-Mu wahai Allah.” Allah bertanya lagi, “Adakah mereka itu pernah melihat-Ku?” Jawab malaikat, “Tidak pernah!” Allah terus bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka melihatKu?” Jawab malaikat, “Jika mereka melihat-Mu, nescaya akan bersangatanlah mereka mengagungkan, bertasbih dan bertahmid kepada-Mu ya Allah.”
Allah bertanya lagi, “Mereka memohon perlindungan-Ku daripada apa?” Malaikat menjawab, “Daripada neraka.” Allah bertanya, “Adakah mereka pernah melihat neraka?” Jawab malaikat, “Tidak pernah!” Allah bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka dapat melihat neraka?” Malaikat menjawab, “Mereka akan lari sejauh-jauhnya dari neraka kerana ketakutan.” Allah bertanya, “Apakah permintaan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka meminta daripadaMu syurga.” Allah bertanya, “Adakah mereka pernah melihat syurga?” Jawab malaikat, “Tidak pernah.” Allah bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka dapat melihat syurga?” Malaikat menjawab, “Mereka sangat haloba untuk memperolehinya,” Lalu Allah berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi, bahawa aku telah mengampunkan mereka.”
Para malaikat bertanya pula, “Wahai Allah! Seseorang telah datang ke dalam kumpulan ini dan dia tidak bercita-cita untuk menjadi sebahagian daripada mereka.” Allah menjawab, “Mereka ini adalah segolongan manusia yang tidak menyakiti orang yang menyertai mereka.” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

- (3375) - - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ، قَالَ: «لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ» : «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ» [روه الترمذى] [حكم الألباني] : صحيح

......Dari Abdulloh bin Yasar ra. Sesungguhnya seorang lelaki berkata: Ya Rosulalloh, sesungguhnya syaria’at islam sungguh sangatlah banyak menurutku, maka kabarkanlah kepadaku sesuatu yg simpel. Rosul bersabda, “Basahilah selalu lisanmu dgn berdzikir kpd Alloh.” [HR. Tirmidzhi hadits hasan ghorib yg dishohihkan Al-Bani]

) -3378 (- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، أَنَّهُ شَهِدَ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ المَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ» . حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَغَرَّ أَبَا مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ. هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ [روه الترمذى] [حكم الألباني] : صحيح

.......Dari Abu Hurairah ra dan Abu Sa’id Al-Khudzri ra. Sesungguhnya keduanya bersaksi atas sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda, “Tidaklah duduk sekelompok org yg berdzikir kpd Alloh kecuali mereka dikelilingi oleh para malaikat, dianegerahi rohmat. Diberikan ketenteraman serta senantiasa diingat [diperhatikan dan dibanggakan-pent] oleh Alloh dihadapan para malaikat-Nya.”............. [HR. Muslim dan Tirmidzi hadits hasan shohih dan dishohihkan Al-Bani]

Dzikir dgn suara jahr [keras] menurut al-Qur’an, Hadits dan para ulama

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [QS. Al.A’raaf: 205]

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" [QS. Al-Israa’: 110]

Tafsir Jalalain menjelaskan [QS. Al.A’raaf: 205] sbb:

(واذكر ربك في نفسك) أي سراً (تضرعاً) تذللاً (وخيفةً) خوفاً منه (و) فوق السر (دون الجهر من القول) أي قصداً بينهما (بالغدو والآصال) أوائل النهار وأواخره (ولا تكن من الغافلين) عن ذكر الله

(Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu) yakni sirr (dengan merendahkan diri) merendah (dan rasa takut) takut dari siksa-Nya (dan) diatas sirr [suara lirih] (tidak mengeraskan suara) yakni antara pelan dan keras [sedang] (di waktu pagi dan petang) pagi dan sore hari (dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu) dari mengingat Alloh [berdzikir].

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan [QS. Al-Israa’: 110] sbb:

وقوله "ولا تجهر بصلاتك" الآية. قال الإمام أحمد حدثنا هشيم حدثنا أبو بشر عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال نزلت هذه الآية ورسول الله صلى الله عليه وسلم متوار بمكة "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها" قال كان إذا صلى بأصحابه رفع صوته بالقرآن فلما سمع ذلك المشركون سبوا القرآن وسبوا من أنزله ومن جاء به قال: فقال الله تعالى لنبيه صلى الله عليه وسلم "ولا تجهر بصلاتك" أي بقراءتك فيسمع المشركون فيسبون القرآن "ولا تخافت بها" عن أصحابك فلا تسمعهم القرآن حتى يأخذوه عنك "وابتغ بين ذلك سبيلا" أخرجاه في الصحيحين

Dan firman Alloh, “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” Imam Ahmad berkata, Hasyim dan Abu Basyar berkata kepadaku dari Sa’id bin Jabir dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Turun ini ayat sewaktu Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berada di Makkah. “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya,” Ibnu Abbas berkata, “ Adalah ketika Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat bersama sahabatnya mengeraskan suaranya dalam membaca ayat al-Qur’an. Maka ketika hal itu didengar org2 musyrik mereka mencaci al-Qur’an, mencaci org yg diturunkan al-Qur’an [Nabi], dan yg menurunkannya [Alloh]. Ibnu Abbas berkata, “ Maka Alloh berfirman kpd Nabi-Nya Shollallohu ‘alaihi wa sallam “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” yakni bacaan al-Quranmu didengar org2 musyrik dan mereka mencacinya. “dan janganlah pula merendahkannya” dari sahabat2mu sehingga mereka tdk mendengar bacaan al-Quran sehingga mereka bisa mengambil pelajaran darimu. “dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" [ suara sedang-pent] [HR. Bukhari Muslim]

اختلف الفقهاء في رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة ، فمنهم من ذهب إلى أنه سنة ، ومنهم من كره ذلك وقال : إن النبي صلى الله عليه وسلم لم يداوم عليه وإنما فعله للتعليم ثم تركه .
عن أبي معبد مولى ابن عباس أن ابن عباس رضي الله عنهما أخبره أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، وقال ابن عباس : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته . رواه البخاري ( 805 ) ومسلم ( 583 )

Ulama fikih berbeda pendapat tentang mengeraskan suara berdzikir selapas sholat. Sebagian mereka ada yg menganggap itu sunnah, dan sebagian memakruhkan hal itu dgn perkataan, “Sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa salllam tdk melakukannya terus menerus, sesungguhnya Rosul melakukannya hanya unt mengajari dan kemudian meninggalkannya.
Dari Ma’bad majikan Ibnu Abbas sesungguhnya Ibnu Abbas ra.. mengabarkan keduanya tentang mengeraskan suara dgn dzikir selepas org2 selesai sholat maktubah [sholat lima waktu] sudah ada semasa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan Ibnu Abbas ra berkata, “Aku lebih mengetahui ketika mereka selesai sholat sehingga aku mendengarnya.” [HR. Bukhari (805) Muslim (583)]

فممن ذهب إلى رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة : الطبري وابن حزم وشيخ الإسلام وغيرهم .وممن ذهب إلى أن ذلك كان للتعليم : الشافعي والجمهور .
قال الشافعي رحمه الله : " وأختار للإمام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعلم منه ، ثم يسر ؛ فإن الله عز وجل يقول ( ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها ) يعنى – والله تعالى أعلم - : الدعاء ، ( ولا تجهر ) ترفع ، ( ولا تخافت ) حتى لا تُسمع نفسك .
وذكرتْ أم سلمة مكثه ولم تذكر جهراً ، وأحسبه لم يمكث إلا ليذكر ذكراً غير جهر " انتهى من "الأم" (1 /127) .
وقال ابن حزم رحمه الله : " ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن " انتهى من "المحلى" (3 /180) .

Diantara ulama yg sepakat dgn mengeraskan suara dlm berdzikir selesai sholat adalah Ath-Thobari, Ibnu Hazm, Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan yg lainnya. Dan ulama yg sepakat bhw suara keras itu hanya unt mengajarkan adalah Imam Syafi’i dan jumhur ulama.
Imam Syafi’i berkata rohimahulloh: Dan yg terpilih untuk imam dan makmum adalah agar berdzikir kpd Alloh setelah selesai sholat, dan merendahkan suara dlm berdzikir kecuali imam ingin agar diketahui [diikuti makmum] maka mengeraskannya sehingga diketahui apa yg telah diajarkan, kemudian tdk memperdengarkannya. Karena sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman (dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya) yakni Alloh Ta’ala lbh mengetahui do’a (dan janganlah kamu mengeraskan) meninggikan suara (dan janganlah pula merendahkannya) sehingga dirimu sendiri tdk mendengar.

Ummu Salamah menyebutkan bhw Rosul berdiam dan tdk berdzikir dgn suara keras, dan menyangkanya Rosul tdk diam [bersuara] kecuali unt memperingatkan bahwa dzikir itu tdk dgn suara keras. [Al-Uum 1/127]

Ibnu Hazm rohimahulloh berkata, “Mengeraskan suara kalimat takbir selesai sholat adalah perbuatan baik [Al-Mahalli 3/180]

ونقل البهوتي في "كشاف القناع" (1/366) عن شيخ الإسلام ابن تيمية استحباب الجهر : " ( قال الشيخ [أي ابن تيمية] : ويستحب الجهر بالتسبيح والتحميد والتكبير عقب كل صلاة " .
وسئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله عن حكم المسألة فأجاب :

" الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة ، دل عليها ما رواه الإمام أحمد وأبو داود . وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة : ( لا إله إلا الله وحده لا شريك له ..) الحديث . ولا يُسمع القول إلا إذا جهر به القائل .
وقد اختار الجهر بذلك شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وجماعة من السلف والخلف ، لحديثي ابن عباس ، والمغيرة رضي الله عنهم . والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلا ، أو تسبيحا ، أو تكبيرا ، أو تحميدا لعموم حديث ابن عباس ، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير ، وبهذا يُعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير .

Al-Bahuti mengatakan dlm “Kasyaf Al-Qana’” (1/366) dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyukai dzikir jahr...” Syeikh Ibnu Taimiyah berkata, “Dan disukai bersuara kera dlm bertasbih, bertahmid dan bertakbir selesai sholat.”
Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya tentang hukum suatu pertanyaan [tentang dzikir] maka menjawabnya: “Dzikir dgn suara keras selepas sholat maktubah hukumnya sunnah, petunjuk akan kesunnahannya adalah hadits yg diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud dalam hadits shohihnya dari hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah ra. berkata: Aku mendengar dari Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika selesai sholat (Laa ilaaha illalloh wahdahu laa syarika lah) Al-Hadits. Dan tdk bisa didengar itu ucapan kecuali ketika dikeraskan suara org yg mengucapkannya.”
Dan sungguh telah memilih dgn suara keras Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh dan jama’ah ulama’ salaf dan kholaf, karena hadits Ibnu Abbas ra. dari Al-Mughiroh bin Syu’bah ra. Dan suara keras dlm berdzikir yg disyari’atkan itu bersifat umum sesudah sholat [wajib atau sunnat] sama saja itu tahlil, tasbih, takbiratau tahmid unt keumuman hadits dari Ibnu Abbas ra. yg tdk tertolak dari hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dgn membedakan antara tahlil dan yg lainnya, tetapi telah datang hadits dari Ibnu Abbas ra. sesungguhnya mereka [sahabat] mengetahui selesainya sholat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dgn kalimat takbir, dan dgn ini diketahui penolakan terhadap org yg mengatakan bhw tasbih, tahmid dan takbir tdk dgn suara keras.

وقال رحمه الله : " فالمهم أن القول الراجح : أنه يسن الذكر أدبار الصلوات على الوجه المشروع ، وأنه يسن الجهر به أيضا - أعني رفع الصوت - ولا يكون رفعا مزعجا فإن هذا لا ينبغي ، ولهذا لما رفع الناس أصواتهم بالذكر في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام في قفولهم من خيبر قال : ( أيها الناس ، أربعوا على أنفسكم ) ، فالمقصود بالرفع ، الرفع الذي لا يكون فيه مشقة وإزعاج " انتهى من "مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين" (13/247، 261)

Maka Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata: “Maka sesungguhnya qaul [hujjah] yg rojih [kuat dan terpilih] adalah disunnahkan berdzikir selepas sholat lima waktu sesuai yg disyari’atkan, dan jg disunnahkan mengeraskannya, -aku maksudkan mengangkat suara [sedang]- dan tdk dgn suara yg terlalu keras itu tdk baik, karena hal ini ketika org2 mengeraskan suara dlm berdzikir dimasa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam waktu perjumpaan mereka di bukit khoibar Nabi bersabda, “Wahai manusia, pelankanlah [tahanlah] diri kalian.” Maka yg dimaksud [tidak] dgn suara keras, mengeraskan suara yg tdk diperlukan krn tdk ada halangan. [Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 13/247-261]. Wallohu a’lam bish-Showab —

By : Ibnu Masud

Read more »

Pelajaran Penting Mengenai Zakat Fitrah Dan Fidyah


ZAKAT FITRAH
  
Zakat adalah salah Satu dari lima hal yang merupakan A'zham umur al Islam (lima perkara yang paling agung dalam Islam) yang disebut dalam hadits Jibril 'alayhissalam ketika beliau mendatangi Nabi r dan bertanya (dengan tujuan memberi pelajaran bagi para sahabat) mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Karena itu, eksistensi zakat tidak bisa dipisahkan dari bangunan ajaran agama Islam. Zakat adalah hak dalam harta seseorang untuk mereka yang berhak menerimanya (Mustahiqqun) atau sesuatu yang diwajibkan atas jiwa setiap muslim dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Yang pertama dikenal dengan istilah Zakat Mal (harta benda) dan yang kedua adalah Zakat al Fithr. Dalam sebuah hadits   yang   diriwayatkan  oleh  al  Baihaqi dengan sanad yang para rawinya tsiqah (terpercaya) bahwa:"Puasa menggantung antara langit dan bumi selagi belum dibayar zakat al Fithr". Ini tidak berarti bahwa bila tidak dibayar zakat al Fithr maka puasa kita sama sekali tidak diterima, melainkan yang dimaksud adalah bahwa puasa tersebut tidak mendapat pahala dengan derajat yang tinggi (pahala yang sempurna). Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai zakat al-fithr ini, marilah dengan seksama kita simak uraian berikut !

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَءَاْتُوْا الزَّكَاةَ (البقرة : 43)

Maknanya: "Dirikanlah shalat dan tunaikan-lah zakat" (Q.S. al Baqarah :43)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَليْه وَسَلّم: "الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ" (رواه مسلم)

Maknanya: "Agama (memerintahkan) nase-hat" (H.R. Muslim)

Zakat al Fithr (Fithrah) ialah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang yang wajib ia beri nafaqah (ia tanggung biaya hidupnya), seperti orang tuanya yang fakir, istri dan anaknya yang belum baligh. Zakat al Fithr ini wajib ia keluarkan jika ia mempunyai harta yang lebih  dari  kebutuhan  sandang, papan, makanan pokoknya dan makanan pokok orang-orang yang wajib ia nafkahi pada hari raya dan malam hari raya dan juga ada kelebihan untuk membayar hutangnya. Ukuran makanan pokok yang wajib dikeluarkan zakat fithrahnya adalah 1 sha'atau 4 mudd (sekitar 2 kg). Dalam mengeluarkan zakat ini diwajibkan untuk niat ketika memisahkan kadar zakat yang akan ia keluarkan. Sebagai contoh, ketika ia memisahkan kadar zakat untuk dirinya, dalam hati ia berniat:

" هَذِهِ زَكَاةُ بَدَنِيْ "
"ini zakat badan-ku".

Sedangkan jika seseorang ingin mengeluarkan zakat al Fithr untuk anaknya yang sudah baligh, maka diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu dari si anak tersebut. Jika tidak demikian, maka zakat itu tidak sah karena anak yang sudah baligh -secara hukum fiqh- nafaqah (biaya hidupnya) bukan lagi menjadi kewajiban orang tuanya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kebanyakan orang cenderung mengabaikannya.
Zakat al Fithr ini wajib bagi orang yang mendapati bagian dari bulan Ramadhan dan Syawwal. Oleh karena itu, bayi yang lahir setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan (tidak mendapati bagian dari bulan Ramadhan) atau lahir pada bulan Ramadhan dan mati sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, tidaklah dikeluarkan zakatnya.
Waktu mengeluarkan zakat ini dimulai dari awal Ramadhan (Ta'jil) hingga terbenamnya matahari pada hari raya. Jika dikeluarkan setelah matahari terbenam pada hari raya tanpa udzur, maka hukumnya haram. Sedangkan yang paling utama (Afdlal) adalah dikeluarkan pada pagi hari raya sebelum shalat 'id (hukumnya sunnah). Apabila dikeluarkan setelah shalat 'Id, maka hukumnya adalah makruh.

Orang-Orang Yang Berhak Menerima Zakat (al Fithr)

Orang-orang yang berhak menerima zakat al Fithr adalah orang-orang yang juga berhak menerima zakat-zakat yang lain, mereka telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوْبُهُمْ وَفِيْ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ (التوبة :60)

Maknanya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang : 

  1. Faqir : Orang yang tidak bekerja atau bekerja tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhan pokoknya. Seperti orang yang sehari membutuhkan Rp.10.000,-, akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 4000,- 
  2. Miskin : Orang yang hanya bisa memenuhi separuh saja dari kebutuhan pokoknya. Seperti orang yang dalam sehari membutuhkan Rp.10.000,- akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 8000,- atau Rp.7000,-. 
  3. 'Amil : Orang yang ditunjuk oleh khalifah atau sulthan dengan tanpa diberi gaji dari Baitul Mal(kas Negara) untuk mengambil (menerima) dan membagikan zakat. Dikarenakan tidak adanya khalifah di masa ini, maka 'Amilpun menjadi tidak ada. Sedangkan panitia yang biasanya dibentuk di setiap daerah, mereka bukanlah 'Amil dalam pengertian syara', yang berhak men-dapatkan zakat. Namun jika mereka tergolong fakir atau miskin atau termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat (selain 'Amil), mereka boleh   menerima  zakat  atas  nama golongan-golongan tersebut. Jadi, status mereka hanyalah wakil dari orang-orang yang mengeluarkan zakat untuk menya-lurkannya ke tangan orang-orang yang berhak menerimanya. 
  4. Al Muallafah Qulubuhum : Seperti orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. Mereka diberi bagian zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalah orang-orang yang terpandang di antara kaumnya. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan orang-orang semacam mereka yang masih kafir tertarik untuk masuk Islam. 
  5. Riqab : Budak mukatab, yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya, jika dia bisa membayar uang dalam jumlah tetentu, maka ia merdeka. keberadaan budak saat ini sangat jarang dijumpai, kecuali di beberapa tempat seperti di Mauritania (kebanyakan para budak di sana tidak lagi diperjualbelikan layaknya budak-budak zaman dulu). 
  6. Gharim : Orang yang berhutang bukan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan tidak mampu melunasinya pada waktu-nya (sudah jatuh tempo). 
  7. Fi Sabilillah : Akan diuraikan dengan detail Insya Allah.
  8. Ibn as-Sabil : Musafir yang kehabisan bekal untuk bisa sampai ke tujuannya. (Q.S. At-Taubah : 60)

Fi Sabilillah, Siapakah Mereka ?

Secara umum, Fi Sabilillah dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. akan tetapi dalam hal zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang sukarelawan).

Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktifitas lain yang baik seperti mengajar adalah masuk dalam kategori Fi Sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak bisa dibenarkan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

  • Tidak satupun di antara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan mereka yang mengatakan bahwa Fi Sabilillah  dalam hal zakat adalah mencakup semua amal kebaikan.
  • Pendapat tersebut muncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad.
  • Pendapat tersebut menyalahi perkataan Imam Malik: "Jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan para ulama) bahwa yang dimaksud fi sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan" (Ibn al 'Arabi al Maliki, Ahkam al Qur'an).
  •  Adanya Ijma' (konsensus) para pakar tafsir bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah dalam ayat tersebut adalah para pejuang suka relawan. Hal ini dapat ditela'ah dalam kitab-kitab tafsir mu'tabar seperti al Bahr al Muhith atau an-Nahr al Madd karya Abu Hayyan, at-Tafsir al Kabirkarya ar-Razi, Zad al Masir karangan al Hafizh Ibn al Jawzi, Tafsir al Baidlawi, Tafsir al Qurthubi, Tafsir Ibn 'Athiyyah dan masih banyak lagi.
  •  Pendefinisian Fi Sabilillah dengan para pejuang suka relawan merupakan ijma' para ulama yang telah dinyatakan oleh para fuqaha' (ahli fiqih), mereka antara lain: Imam Syafi'i dalam al Umm, Juz VI, h. 62, Imam Malik  dalam  al  Muwaththa', h. 179, Muhammad ibn al Hasan dalam al Mudawwanah, Juz II, h. 59, Ibnu Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah, h. 108, Ibn Qudamah dalam al Mughni, Ibn al Mundzir dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja Imam Ahmad menambahkan bahwa termasuk juga Fi Sabilillah dalam hal ini adalah Haji.

Cukup sebagai dalil, bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai dengan penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat at-Taubah tersebut menggunakan lafazh "innama" (termasuk lafazh yang berfungsi Hashr yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti, zakat hanya sah jika diberikan kepada delapan golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan, maka tidak ada artinya al Hashr(pembatasan) dengan lafazh tersebut.
Juga sabda Rasulullah ketika beliau berbicara tentang zakat :

"إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِّيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ" (رواه أبو داود والبيهقي)

Maknanya: "Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang yang mempunyai pekerjaan yang mencu-kupinya" (H.R. Abu Dawud dan al Baihaqi)

Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah, kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang, baik kaya ataupun miskin maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.
Kutipan al Fakhrur Razi dari al Qaffal asy-Syasyi bahwa sebagian Fuqaha' mengatakan: "Sabilullah"mencakup semua jalan kebaikan adalah kutipan dari orang-orang yang Majhul (tidak dikenal) dan merupakan pendapat yang rusak (menyimpang dari kebenaran) dari al Majahil (orang-orang yang tidak dikenal) dan ini menyalahi ijma' yang telah dinyatakan oleh para ulama seperti Imam Malik. Karenanya pendapat ini tidak bisa diterima sebab menyalahi ijma' (Muhammad Zahid al Kautsari, Maqalat al Kautsari, h. 222).

Jika ada sebagian orang yang menukil dari Imam Ahmad bahwa ia mengatakan: "Zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan", perlu diketahui bahwa ia menyalahi nash-nash Fuqaha Hanabilah (para ahli fiqih dari Madzhab Hanbali) sendiri seperti yang telah dikemukakan oleh Ibn Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah, Ibn Qudamah al Hanbali dalam al Mughni, dan juga ulama-ulama mujtahid atau yang di bawah derajat mereka dari luar kalangan Fuqaha' Hanabilah.

Karena semua inilah, maka para ulama seperti Sulthan al Ulama al 'Izz ibn Abdissalam berfatwa bahwa tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan kepada tentara muslim yang sudah mendapat gaji dari uang kas Negara, meskipun para penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukan tartar. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu: "Gunakanlah harta zakat untuk setiap yang dinamakan jihad". Peristiwa ini diceritakan oleh imam Tajuddin as-Subki dalamThabaqat asy-Syafi'iyyah dan Ibn Katsir dalam al Bidayah wa an-Nihayah.

Bahwa yang di maksud Fi Sabilillah hanyalah para pejuang suka relawan, hal ini juga ditegaskan oleh mantan mufti mesir yang terkenal, Syekh Muhammad Bakhit al Muthi'i  dan Syekh Muhammad Zahid al Kautsari yang merupakan wakil Syekh al Islam terakhir dalam Khilafah Utsmaniyyah.

(( Catatan Penting ))

Kiyai, Ustadz, Guru ngaji, masjid, musolla, pesantren, madrasah, dan prasarana umum lainnya bukanlah dimaksud Fi Sabilillah dalam ayat di atas, sehingga mereka tidak boleh mengambil/menerima zakat, kecuali bila ada dari orang yang kita sebutkan masuk dalam kategori faqir, miskin.

Faedah Penting

Bagi setiap muslim hendaklah menjadikan tujuan hidupnya adalah mencari ridla Allah semata dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan hendaklah ia senantiasa  mengingat  bahwa Allah akan menghisab segenap perbuatannya. Rasulullah bersabda:

"لاَتَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلُ عَنْ أَرْبَعٍ "- وَذَكَرَ فِيْهِ -  "وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ" (رواه الترمذي)

Maknanya: "Tidaklah seorang hamba berpindah dari satu mawqif (pos) ke mawqif yang lain pada hari kiamat sehingga dia ditanya tentang empat perkara, di antaranya tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia menafkahkannya"  (H.R. at-Tirmidzi)

Karenanya, hendaklah setiap muslim berusaha dengan segenap upayanya sehingga ia yakin bahwa zakatnya telah sampai ke tangan orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Oleh karena itu, para ulama di antaranya Imam Ahmad menyatakan: "Disunnahkan bagi seseorang untuk menyalurkan zakatnya (kepada mustahiq) dengan tangannya sendiri". Bahkan ats-Tsauri menyatakan: "Sumpahlah mereka (penguasa) dan jangan percayai mereka dan jangan beri mereka apapun jika mereka tidak menempatkan sesuai dengan tempat yang semestinya" (asy-Syarh al Kabir fi al Fiqh al Hanbali, Juz II, h. 673).

Bagi mereka yang tidak menempatkan zakat sesuai dengan tempatnya atau mengambil bagian zakat yang bukan haknya, hendaklah ia ingat sabda Rasulullah:

"إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِيْ مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" (رواه البخاري)

Maknanya: "Sesungguhnya orang-orang yang mengambil atau membelanjakan harta Allah (harta Bait al Mal) tanpa ada hak, maka mereka berhak mendapatkan siksa neraka di hari kiamat". (H.R. al Bukhari)

Semoga semua amal ibadah kita, shalat, puasa, bacaan al Qur'an, zakat fitrah, dan sebagainya selama bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah ta'ala. Amin


Fidyah

Kewajiban Yang Harus Dipenuhi Oleh Orang Yang Membatalkan Puasa Dengan Sengaja 

Membatalkan puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan adakalanya:

  1. Wajib mengqadha saja.
  2. Wajib mengqadha serta membayar fidyah.
  3. Wajib membayar fidyah saja sebagai ganti dari puasa.
  4. Wajib mengqadha dan kafarat.

1. Yang hanya wajib mengqadha saja adalah:
  • Yang membatalkan puasa sebab sakit.
  • Yang melakukan perjalanan jauh (musafir) dan membatalkan puasanya.
  • Perempuan yang haidh atau nifas.
  • Yang membatalkan puasa tanpa udzur, atau sudah berpuasa lalu membatalkan puasanya bukan dengan  bersetubuh.

2. Yang wajib mengqadha dan membayar fidyah adalah :
  • Perempuan yang hamil atau menyusui, jika keduanya khawatir terhadap anaknya, sehingga membatalkan puasa.
Fidyah adalah satu mud (satu cakupan kedua telapak tangan orang sedang) makanan pokok mayoritas masyarakat setiap hari. Sementara dalam mazhab Hanafi fidyah adalah memberi makan orang miskin seukuran makan siang dan malamnya atau harganya jika diuangkan.
  • Bagi orang yang masih punya tanggungan untuk mengqadha puasa, lalu ia memperlambatnya sampai datang ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah setiap harinya satu mud.

3. Yang wajib membayar fidyah saja adalah:
  • Orang tua yang lemah yang tidak kuat berpuasa atau merasakan kesulitan yang berat maka ia boleh tidak berpuasa namun sebagai gantinya ia wajib membayar fidyah pada setiap harinya. 
  • Orang yang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, orang seperti ini tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha puasa yang ia tinggalkan, tetapi hanya wajib membayarfidyah saja. Yaitu seukuran makan siang dan malam menurut mazhab Hanafi atau satu mud gandum atau yang lainnya sesuai makanan pokok kebanyakan masyarakat. 

4. Yang wajib mengqadla dan wajib membayar kafarat adalah :
  • Orang yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh dengan sengaja, tidak dipaksa serta ingat bahwa ia sedang berpuasa, walaupun tidak sampai mengeluarkan mani.

Yang dimaksud dengan kafarat adalah:
  1. Memerdekakan budak mukmin, jika tidak mampu
  2. Berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak termasuk hari untuk mengqadha. Jika selama dua bulan tersebut ada satu hari yang tidak dilaksanakan puasa pada hari itu walaupun karena sakit, maka harus mengulang kembali dari awal. Jika tidak mampu juga maka,
  3. Memberi makan 60 orang miskin, masing-masing dari mereka satu mud makanan pokok kebanyakan masyarakat. Sementara menurut  Imam Abu Hanifah yaitu memberi masing-masing dari mereka seukuran makan siang dan malam.
Jika masih tidak mampu juga melaksanakan ketiga hal tersebut maka kafarat tetap menjadi tanggungannya dan tidak ada lagi yang bisa menebusnya sebagai ganti dari kafarat tersebut.
Read more »